Transformasi Fikih Sebagai Solusi Hidup: Telaah Pemikiran Hadrotussyeh KH. Hasyim Asy‘ari dan Prof Dr Wahbah az-Zuhaili
- 24 July 2025
- Oleh Redaksi Santri Bangkit

Santri Bangkit – Dalam sejarah pemikiran Islam, fikih seringkali dianggap sebagai kumpulan hukum-hukum yang membebani, kaku, dan tak relevan dengan dinamika zaman. Dua tokoh besar dari lintas ruang dan waktu, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy‘ari dari Indonesia dan Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dari Suriah , menunjukkan bahwa fikih sejatinya adalah jalan solusi, bukan sekadar warisan normatif yang membelenggu kreativitas zaman. , menunjukkan bahwa fikih sejatinya adalah jalan solusi, bukan sekadar warisan normatif yang membelenggu kreativitas zaman.
1. Fikih sebagai Kehidupan, Bukan Kekangan
Hadrotussyeh KH. Hasyim Asy‘ari dalam berbagai karyanya seperti Adabul ‘Alim wal Muta‘allim maupun Risalah Ahlussunnah wal Jama‘ah menekankan bahwa fikih adalah manifestasi dari nilai hikmah, maslahat, dan rahmat. Ia membentuk fikih sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan beragama yang tidak semata-mata legalistik, tetapi juga kmendidik akhlak dan kepekaan sosial.
Sebaliknya, Wahbah az-Zuhaili melalui karya magnum opus-nya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu mengembangkan pendekatan fikih yang terbuka terhadap perbedaan mazhab dan berlandaskan dalil. Beliau menjelaskan bahwa fikih Tidak Boleh Mandek dalam naskah, tapi harus menjadi bagian dari solusi kehidupan modern, termasuk dalam ekonomi, perbankan, teknologi, hingga sistem hukum internasional.
2. Membela Mazhab, Menjunjung Ijtihad
Hadrotussyeh KH. Hasyim Asy‘ari berkomitmen terhadap mazhab Syafi‘i, namun membuka pintu ijtihad dan tarjih saat dibutuhkan, khususnya dalam menjawab persoalan umat di Nusantara yang plural.
Dalam pandangan Beliau , taqlid bukan kemandekan, melainkan rambu awal sebelum naik ke tingkat ijtihad yang bertanggung jawab.
Demikian pula Wahbah az-Zuhaili: meskipun berpijak pada mazhab Syafi‘i, ia berani membandingkan dan menguatkan pendapat lintas mazhab bila dianggap lebih kuat berdasarkan dalil.
Prinsip ini penting dalam menghindari fanatisme buta yang bisa menghalangi aktualisasi fikih sebagai jawaban zaman.
3. Respons terhadap Tantangan Kontemporer
Hadrotussyeh KH. Hasyim Asy‘ari merumuskan fikih dalam konteks kebangsaan yang konkret: hukum jihad, ketaatan pada ulil amri (pemerintah), dan pentingnya menjaga ukhuwah dan kebangsaan dalam situasi kolonialisme. Beliau menghadirkan fikih sebagai kekuatan moral dan sosial dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Sedangkan Wahbah az-Zuhaili menghadapi tantangan globalisasi, HAM, dan sekularisasi hukum. Ia tidak terjebak pada dikotomi klasik-modern, melainkan Menyelaraskan Fikih dengan nilai kemanusiaan universal yang Islami.
Dalam fikih muamalah modern, ia mendukung inovasi seperti perbankan syariah, asuransi syariah, dan ijarah muntahiya bittamlik sebagai bentuk relevansi hukum Islam.
4. Moderatisme dan Keadilan
Kedua tokoh ini bertemu dalam semangat wasathiyah (moderat). Hadrotussyeh KH. Hasyim Asy‘ari merumuskan Aswaja sebagai landasan pemikiran umat Islam Indonesia yang toleran, menghormati perbedaan, dan tidak eksklusif. Fikih bagi beliau adalah jalan untuk merawat harmoni dan mencegah konflik.
Wahbah az-Zuhaili pun mengecam keras kelompok-kelompok ekstremis. beliau menegaskan bahwa fikih bukan alat mengkafirkan, melainkan media untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan.
Dalam konsep jihad misalnya, ia menolak interpretasi ofensif dan menegaskan bahwa jihad harus dibaca dalam kerangka pertahanan, bukan ekspansi.
Kesimpulan
Fikih yang Hidup, Fikih yang Membebaskan
KH. Hasyim Asy‘ari dan Wahbah az-Zuhaili adalah dua tokoh lintas generasi yang berhasil mentransformasikan fikih menjadi sesuatu yang menghidupkan umat, bukan membelenggu umat.
Fikih bagi Beliau2 bukan sekadar disiplin hukum, tetapi kerangka nilai untuk menghadirkan rahmat Islam dalam setiap aspek kehidupan: pendidikan, ekonomi, politik, hingga relasi sosial.
Dengan pendekatan ilmiah, kontekstual, dan spiritual, mereka menunjukkan bahwa Islam melalui fikih dapat menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan otentisitasnya.
Inilah warisan besar yang patut diteruskan oleh generasi Ulama’ hari ini: menjadikan fikih sebagai rahmatan lil ‘alamin, bukan sekadar himpunan hukum yang kehilangan ruhnya
Ditulis oleh : Ustd. H. Ujang Hasan Basri (Santri, Alumni Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Beliau juga sebagai Pembimbing Ibadah Umrah Haji di Sarana Umrah, Bekasi).