Perjalanan Ilmu dari Madrasah ke Dunia Barat: Jejak Intelektual Islam yang Terlupakan

Santri Bangkit – Apa itu Madrasah? Madrasah, dalam bahasa Arab, berasal dari kata “darasa” yang berarti “belajar”. Secara harfiah, madrasah berarti tempat belajar. Dalam tradisi Islam, madrasah bukan hanya sekadar sekolah agama, tetapi merupakan institusi pendidikan yang menyeluruh, mencakup ilmu agama dan ilmu umum— seperti matematika, kedokteran, filsafat, astronomi, hingga tata negara.

Awal mula munculnya madrasah berkaitan erat dengan semangat Islam yang menempatkan ilmu sebagai inti ajaran. Ayat pertama yang turun, Iqra’ (bacalah), menjadi landasan spiritual sekaligus intelektual bagi umat Islam. Maka, sejak abad pertama hijriah, majelis ilmu telah tumbuh di masjid masjid, yang kemudian berkembang menjadi madrasah formal.

Awal Sejarah dan Perkembangan Madrasah

Madrasah dalam bentuk institusi resmi mulai muncul pada era Dinasti Abbasiyah. Baghdad menjadi pusat intelektual dunia Islam dengan berdirinya Bayt al-Hikmah (House of Wisdom) pada abad ke-9 M, di bawah Khalifah Harun al-Rasyid dan anaknya al-Ma’mun. Di sanalah terjadi proses besar-besaran penerjemahan karya-karya Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab, dan dari sinilah lahir generasi awal ilmuwan Muslim.

Namun, format madrasah yang terorganisir secara sistematis mulai terwujud secara nyata pada masa Dinasti Seljuk. Salah satu pelopor penting adalah Nizam al-Mulk , perdana menteri yang mendirikan Madrasah Nizamiyah pada abad ke-11 M. Madrasah ini memiliki struktur kurikulum, tenaga pengajar resmi, beasiswa bagi pelajar, serta jaringan cabang di berbagai kota seperti Baghdad, Nishapur, dan Balkh. Di sinilah Imam al-Ghazali pernah mengajar dan menulis karya-karya monumentalnya.

Madrasah menyatukan dimensi spiritual dan intelektual. Ulama mengajar fikih dan tafsir di ruang yang sama di mana mereka juga membahas logika Aristotelian, astronomi, dan kedokteran. Ruang belajar menjadi ruang berpikir, dan ruang berpikir menjadi cermin keagungan Islam sebagai peradaban ilmu.

Madrasah Sebagai Pusat Intelektual Dunia

Pada masa keemasan Islam (abad ke-9 hingga 13 M), madrasah menjelma menjadi universitas dunia Islam. Kota-kota seperti Kairo, Damaskus, Baghdad, Cordoba, dan Fez dipenuhi oleh madrasah yang menarik pelajar dari penjuru dunia Islam. Madrasah Al-Azhar di Kairo dan Universitas Al-Qarawiyyin di Fez menjadi pusat ilmu yang masih bertahan hingga kini.

Madrasah tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Para ilmuwan seperti Ibn Sina (Avicenna) , AlFarabi, Ibn Rushd (Averroes) , dan Al-Biruni mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran, filsafat, fisika, kimia, dan matematika dari ruang-ruang madrasah. Kurikulum madrasah mencerminkan semangat integratif: antara wahyu dan akal, antara ilmu agama dan ilmu eksakta. Model kurikulum ini yang kemudian menginspirasi dunia di luar Islam.

Transfer Ilmu ke Dunia Barat

Ketika Eropa masih terjebak dalam zaman kegelapan, dunia Islam sudah lebih dahulu mencapai puncak peradaban ilmiah. Peradaban Barat pertama kali bersentuhan dengan keilmuan Islam melalui dua jalur utama : Andalusia (Spanyol Muslim) dan Sisilia, yang saat itu berada dalam pengaruh dunia Islam.

Di kota Toledo, Spanyol, pada abad ke-12 M, berdirilah pusat penerjemahan naskah-naskah Arab ke Latin. Sejumlah besar karya ilmiah dari Al-Khawarizmi, Ibn Sina, Al-Haytham, dan lainnya dialihbahasakan, kemudian menjadi dasar pembelajaran di universitas-universitas Kristen Eropa.

Transfer ilmu ini tidak hanya membawa informasi baru, tetapi juga memperkenalkan metode berpikir ilmiah, sistem pendidikan berjenjang, serta tradisi akademik berupa pemberian ijazah, sistem fakultas, hingga debat ilmiah—semua merupakan warisan madrasah Islam. Model madrasah inilah yang kemudian diadaptasi oleh institusi seperti Universitas Bologna , Universitas Paris, dan Universitas Oxford. Maka, tanpa madrasah, kita tak akan mengenal universitas seperti hari ini.

Jejak yang Terlupakan

Sayangnya, warisan keilmuan Islam sering dipinggirkan dalam narasi sejarah modern. Sejarah ilmu dalam versi Barat seolah mengabaikan peran sentral dunia Islam. Inilah yang menyebabkan banyak umat Islam hari ini tidak menyadari bahwa asal muasal banyak teori modern—terutama dalam matematika, kedokteran, dan astronomi—berasal dari tradisi keilmuan Islam.

Sebagai santri dan generasi muda muslim, penting bagi kita untuk memahami sejarah keilmuan ini agar tidak tercerabut dari akarnya. Menyadari bahwa tradisi dan cara belajar kita itu pernah menjadi dasar atau tulang punggung peradaban dunia, adalah kunci untuk membangkitkan kembali semangat menuntut ilmu secara serius dan menyeluruh.

Madrasah bukan sekadar bangunan fisik atau tempat ngaji semata. Ia adalah simbol peradaban, laboratorium ilmu, benteng akhlak, dan motor perubahan sosial. Dari lorong-lorong madrasah inilah lahir para pemikir besar dunia, yang pemikirannya masih hidup dalam buku, teknologi, hingga struktur pendidikan modern saat ini.

Mari bangkitkan kembali semangat itu. Sebab, kebangkitan Islam tak akan pernah lahir tanpa kebangkitan ilmu.

Referensi:

  1. George Makdisi, The Rise of Colleges
  2. Jonathan Lyons, The House of Wisdom
  3. Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
  4. Sumber NU Online dan UIN Syarif Hidayatullah

Tags

Share