Kesalehan Sosial dan Spiritual Yang Kropos: Perspektif Ulama
- 17 July 2025
- Oleh Redaksi Santri Bangkit

Santri bangkit – Dalam pandangan para Ulama’, khususnya dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja), kesalehan tidak hanya dinilai dari seberapa banyak ibadah seseorang secara individual, tetapi juga dari seberapa besar kontribusinya dalam kehidupan sosial.
Ketika salah satu dimensi ini rapuh atau “kropos”, maka kesalehan itu dianggap belum utuh. Inilah yang oleh sebagian Ulama’ disebut sebagai “kesalehan semu” atau “kesalehan yang timpang”.
1. Kesalehan Spiritual yang Kropos
Kesalehan spiritual (individual) yang tampak hebat di luar rajin sholat, puasa, haji, dzikir namun tidak tercermin dalam perilaku sosial, dianggap sebagai kesalehan yang dangkal.
Para Ulama’ menyebut orang semacam ini sebagai “abid tapi tidak arif” (ahli ibadah tanpa pemahaman mendalam).
Hadrotussyeh KH. Hasyim Asy’ari, dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim, menekankan pentingnya akhlak dan adab dalam menuntut ilmu dan beribadah. Ilmu dan ibadah tanpa adab tidak akan memberi cahaya hati.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyindir mereka yang berlama-lama dalam shalat malam tapi cuek terhadap tetangga yang kelaparan sebagai orang yang terjebak dalam ujub (bangga diri) spiritual.
2. Kesalehan Sosial yang Kropos
Sebaliknya, orang yang tampak aktif secara sosial rajin memberi bantuan, membangun masyarakat namun melalaikan ibadah, juga dianggap memiliki kesalehan sosial yang kropos. Ini disebut “aktivisme tanpa spiritualitas”.
KH. Sahal Mahfudz, dalam konsep Fikih Sosial, menegaskan bahwa keterlibatan sosial harus dilandasi dengan kedalaman spiritual. Tanpa itu, kerja sosial rawan menjadi alat pencitraan atau alat politik.
KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) sering menyindir dalam ceramahnya:
Kadang orang berbuat baik bukan karena takut kepada Allah, tapi karena takut tidak dipuji manusia.”
3. Tanda-Tanda Kesalehan yang Kropos
Menurut para Ulama’ sufi dan kiai pesantren, tanda-tanda kesalehan yang kropos antara lain:
Riyaa’ (pamer amal): Amal dilakukan untuk dilihat manusia, bukan Allah.
Inkarul ma’ruf: Meremehkan orang lain yang tidak selevel secara ibadah/sosial.
Tidak berakhlak: Gemar mencela, menebar kebencian, kasar di media sosial, meskipun rutin mengaji dan dzikir.
Apatis sosial: Tak peduli pada penderitaan umat atau kemungkaran di sekitarnya.
4. Solusi Menurut Ulama’
Menyeimbangkan antara hablum minallah dan hablum minannas.
KH. Wahab Hasbullah mengatakan bahwa Islam menuntut suluk dzati (perjalanan spiritual) dan harokah ijtima’iyyah (gerakan sosial) secara seimbang.
Menghidupkan konsep ihsan.
Sebagaimana sabda Nabi SAW: “Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya.”
Ulama’ menekankan bahwa ihsan bukan hanya dalam ibadah, tetapi dalam bekerja, berbicara, bahkan berpolitik.
Kesimpulan
Kesalehan sejati menurut Ulama’ Aswaja adalah kesalehan yang menyatu antara spiritual dan sosial. Ibadah pribadi yang khusyuk harus berbuah kepekaan sosial. Sebaliknya, aktivisme sosial yang tulus harus bersumber dari kekuatan batin yang jernih. Ketika salah satunya kropos, maka umat akan mudah terjerumus pada kesalehan palsu, baik berupa fanatisme agama tanpa akhlak maupun aktivisme tanpa ruh keimanan.
Kesalehan adalah buah dari ilmu yang benar, amal yang ikhlas, dan hati yang bersih. Semoga bermanfaat. Ngopi menjelang magrib.
Ditulis oleh : Ustd. H. Ujang Hasan Basri (Santri, Alumni Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Beliau juga sebagai Pembimbing Ibadah Umrah Haji di Sarana Umrah, Bekasi).